Semut Writes

Saya mau belajar menulis. Cita-cita saya adalah mengubah dunia menjadi lebih baik melalui tulisan. Blog ini adalah tempat latihan saya. Bahasa Indonesia dan Inggris akan dipakai disini.

I'm learning to write. I do want to be a good writer and through writing I hope to change people for the better. This blog is my writing training ground. I will use both Indonesian and English languages here.

Rabu, 05 Maret 2008

Otakku 20': Latihan Komposisi Fotografi


Bagi saya, mencari komposisi yang baik adalah mencari sweet spots (titik-titik manis) dimana obyek-obyek mestinya ada. Efek yang ditimbulkan dari titik manis ini cukup luar biasa karena ia dapat membuat obyek-obyek yang biasa menjadi terlihat indah.

Latihan komposisi yang saya lakukan ada beberapa cara, antara lain, lihat dan evaluasi, kroping, dan penjajakan sudut potret.

Lihat dan evaluasi adalah istilah yang saya tujukan untuk latihan memotret komposisi tanpa memakai kamera. Ini mirip dengan seperti Pak Agus Leonardus sebut waktu ceramah di Senayan City, yaitu membawa kertas dengan lubang membentuk kotak untuk dibidik ke obyek yang sekiranya akan dipotret. Hanya saja, latihan yang saya lakukan tidak memakai kertas itu, hanya dengan mata saja.

Pada umumnya, foto yang kita hasilkan adalah ambilan dari penglihatan kita. Kita seperti memotong sebagian dari apa yang kita lihat dari sekeliling kita, membingkainya dalam bingkai segi empat. Prinsip ini juga mendasari latihan saya. Saya mencoba membentuk bingkai segi empat dalam pikiran dan penglihatan saya. Bingkai imajiner tersebut kemudian saya geser-geser sesuka hati saya untuk membentuk foto yang kira-kira menarik.

Tata peletakkan obyek untuk membentuk foto yang menarik menurut saya tidak hanya memperhitungkan tata letak semata-mata, namun juga harus memperhatikan intensitas perhatian dari masing-masing obyek, pesan atau mood yang mau disampaikan, detil setiap obyek dan latar. Faktor-faktor di atas adalah seperti bumbu masakan yang harus ditimbang-timbang untuk mendapat keseimbangan/komposisi yang diinginkan. Idealnya, penimbangan ini harus dilakukan sebelum tombol shutter ditekan. Tetapi terkadang keterampilan pemotret belum memadai untuk ini dan momen juga tidak mengijinkan untuk berlama-lama merencanakan komposisi..

~ belum selese (20' is apparently too short)

Giant Plasa Semanggi, 4 Maret 2008
Selesai jam 21.22

Selasa, 04 Maret 2008

Otakku 20': 24 Februari 2008


Aku baru saja bermimpi. Mimpi buruk, satu persatu orang-orang terdekatku menghilang.. Tiada. Kulihat mereka ditelan bumi. Tangispun tak tertahan.

Tapi aku telah terbangun dari mimpi itu. Namun, apa itu tadi mimpi? Satu persatu mereka menghilang. Terpikir olehku, hal itu akan terjadi di masa depan. Itu kenyataan! Ia suatu saat akan terjadi. Ini lebih menyedihkan daripada bila aku pergi duluan.

Saat jam-jam kehidupan mereka perlahan berhenti berdetak, jam hidupku kan kurasa juga memelan. Suatu saat akupun akan menghilang.

Ini mimpi yang menyedihkan. Menyebalkan. Ia membangunkanku dari angan-angan. Ilusi bahwa segala sesuatu akan tinggal tetap.

Masa-masa kecil yang bahagia. Ayah, Ibu, Saudara, hal-hal yang setiap hari berjalan. Roda kehidupan yan setiap ari diputar, seakan-akan mereka tetap sama. Tak berubah.

Itulah yang ilusi. Roda itu berubah, dan nantinya akan berhenti. Sosok-sosok mereka yang ditemui setiap hari, seolah-olah (ataukah mengharap) bahwa mereka akan tetap muda (dan aku anak kecil). Hingga suatu saat dewasa datang tiba-tiba, seperti petir menghantamku. Tanggung jawab dan kerutan yang serentak datang entah darimana.

Mimpi itu, mimpi itu. Mimpi yang menyedihkanku. Ia membangunkanku pada kenyataan. Memaksaku bertanya tentang arti dan tujuan kehidupan, yang harus senantiasa kucamkan.

24 Februari 2008
selesai : 16.05
Patas AC 48 Depok-Grogol, Jakarta.

Sabtu, 23 Februari 2008

Otakku 20': First Edition


I intend to push my writing training a little further, so I set up a plan for myself, called Otakku 20' (My Brain 20'). This plan is about daily spending twenty minutes of my time to write something, anything. The writing will be posted here, and the languages to be used are Indonesian and English, not necessarily alternatingly.

Twenty minutes will be the approximate time starting from the time I set myself in front of a computer to write or after I have my notebook and pencil ready. But the gathering of thoughts in my mind may take place before that. After all, one the purpose of my writing is to pour out what I have to say about something while practicing my skills, rather than practicing skills as the main purpose.

During the twenty minutes, I'm free to do anything to produce a writing. However, I must remember the steps I ought to take each time I initiate to write. The first is organizing my thoughts, I should jot down the points I intend to convey, develop a flow of reasoning or style, and developing the points. This may take five to ten minutes. Secondly, I should start writing, putting those points to words, choosing the words and sentences carefully. This may take about ten minutes. Lastly, I should review what I wrote. Evaluating the points, the purpose of the article, the logical flow or the artfulness, proofreading. Also I should re-examine the choice of words and sentences. This part may take five minutes. These are just theories that presently come to my mind. I'm not sure how it would turn out later. Most likely I will allocate minimal time to review, too much time to think or write. But let's just see how it would turn out.

The forms of writing I would choose could me argumentative, narrative, expository, descriptive, even poetry (admittedly, I'm not familiar with the forms of writing). The themes could be my personal experiences, current issues, thought exercise, faith, etc.

Later, when I writing would have become a habit, maybe I would select some themes from this daily article to be developed further. Articles which I find to be interesting will be posted to my other blogs which have more familiar audiences.

Time's up. See you later!

Selasa, 05 Februari 2008

Konsumerisme dan Komponen Inesensiil Peradaban


Konsumerisme diperlukan untuk menjaga peradaban tetap berjalan seperti sekarang ini. Ini karena tidak semua komponen peradaban memiliki peran dalam mempertahankan peradaban itu sendiri. Karena itu, untuk mempertahankan diri sendiri, komponen-komponen inesensial tersebut membentuk interaksi yang seolah-olah saling membutuhkan dengan komponen-komponen esensial peradaban. Sebenarnya, komponen-komponen inesensial tidak dibutuhkan dan mereka inilah yang giat menjalankan praktek pemasaran.

Bila ditelaah lebih jauh, kita perlu melihat penyebab hal tersebut. Kepadatan penduduklah yang menyebabkan ini terjadi. Peradaban menumbuhkan populasi melebihi dari yang dibutuhkannya. Kemajuan teknologi menyebabkan tingkat ketahanan hidup dan kesuksesan reproduksi manusia meningkat. Kemudian, pertumbuhan penduduk yang ireversibel tidak terelakkan.

Mari kita mencoba menguji sisi praktisnya. Misalnya, tentang telepon seluler dengan fitur kamera. Saat ini, manusia sulit hidup tanpa telepon seluler, namun manusia bisa hidup tanpa kamera di telpon seluler mereka. Apa yang terjadi bila konsumerisme dalam hal ini ditekan, yaitu ketika manusia tidak lagi membeli telepon seluler dengan fitur kamera. Selanjutnya bagian produksi komponen kamera tersebut akan layu hingga hilang, dan para pekerjanya dikeluarkan. Setelah melalui rantai kejadian yang panjang, akan terjadi penurunan tingkat ketahanan hidup dan reproduksi dari para pekerja fitur kamera ini, yang adalah komponen inesensial. Akibatnya, sangat mungkin tingkat pertumbuhan populasi berkurang karena pekerja inesensial ini mengurangi jumlah keturunan karena tidak memiliki sumber daya untuk membesarkan anak dengan baik.

Inilah yang saya maksud. Peradaban yang kita alami adalah peradaban yang inefisien. Bila seluruh manusia diibaratkan sebagai satu superorganisme, maka superorganisme itu dapat digambarkan sebagai satu individu gemuk. Ia hidup di taman Eden, bergantung dari sumber daya yang disediakan taman tersebut. Akan tetapi ia boros. Ia menebang pohon untuk membuat mainan-mainan kayu, menghabiskan buah dan air untuk memuaskan nafsunya. Akhirnya taman itu rusak.

Solusi apa yang dapat kita terapkan? Jika saja penghuni Eden itu mau menghemat, maka taman Eden mungkin dapat kembali pulih. Jika setiap manusia mau hidup lebih efisien dan menahan nafsu materinya, bumi ini akan diselamatkan dari eksploitasi untuk kepentingan sia-sia.

Bila kita kembali ke perihal komponen-komponen inesensial dalam peradaban, mereka inilah yang pertama kali terkena dampak efisiensi. Mereka akan menganggur begitupun keluarga mereka ikut terbawa akibatnya. Mungkin akan lebih baik bila komponen inesensial ini dibiarkan menganggur dan kehidupan mereka disokong oleh kelompok esensial yang hidup efisien. Ini lebih baik daripada mereka bekerja dalam suatu produksi yang pasti berdampak negatif pada lingkungan hidup. Dengan berkata demikian, sepertinya saya berkata bahwa sistem sosialis lebih baik daripada kapitalis. Dalam sistem kapitalis, komponen yang bermodal memiliki kekuasaan mengendalikan komponen tak bermodal. Dengan kekuasaan ini, komponen bermodal menuntut komponen lain memuaskan hawa nafsu mereka dan pada saat bersamaan komponen tak bermodal berlomba-lomba mencapai kelas atas. Sebagai akibatnya, alam menjadi korban dan akhirnya manusia itu sendiri. Tapi saya tidak mengetahui seluk beluk berbagai sistem pemerintahan. Saya ignorant, tapi sepertinya sistem sosialis juga memiliki kelemahan fatal, yaitu bahwa sang penguasa, yaitu pemerintah, akan cenderung memuaskan nafsunya. Pada akhirnya peran negatif kaum bermodal pada sistem kapitalis digantikan oleh kaum pemerintahan yang tamak pada sistem sosialis.

Jadi bagaimana? Peradaban kita sekarang adalah peradaban yang merusak alam. Peradaban yang kendalikan nafsu manusia. Nafsu materiil memang adalah hakikat manusia. Kemudian bagaimana mengendalikan nafsu? Saya menjawab: iman dan nurani. Saya mengatakan kita harus kembali kepada iman yang mengendalikan nurani untuk menyelamatkan kita dari kita sendiri. Saya tidak mengajak kita untuk mengandalkan keagamaan dalam arti institusi atau kelompok. Dalam institusi seperti ini ada hirarki kekuasaan, dan karenanya rawan dipengaruhi oleh nafsu manusia.

Saya mengajak teman-teman untuk kembali ke nurani. Setiap kali temen-temen belanja ke toko, bayangin kalo temen-temen itu seorang manusia di taman Eden, dan barang-barang ditoko adalah persediaan dari alam. Ingat dalam setiap barang buatan hasil produksi manusia pasti ada dampak negarif yang ditimbulkannya. Karena itu, tanyakanlah diri temen-temen sendiri setiap mau mengambil barang yang mau dibeli itu: Apakah saya betul-betul perlu barang ini? Selamatkan bumi ini, selamatkan diri Anda sendiri.

Evaluasi : lah kok endingnya kayak gini???? Komponen esensiil inesensiilnya mana?? Komponen-komponen peradaban? Meleset jauh ya.. ga fokus.

Kamis, 09 Agustus 2007

Keluarga Cinenen di Hutan UI

Latihan Menulis 1:


Keluarga Cinenen di Hutan UI

Aku ingat, saat kuliah sedang libur panjang di tahun-tahun awal kuliahku, aku sering menghabiskan waktu menjelajah hutan UI untuk mengamati burung. Pengamatan burung adalah kegemaran baruku saat itu, mungkin dipengaruhi kegiatan-kegiatan yang aku ikuti sebagai mahasiswa biologi.

Aku menjelajah hutan UI sendiri. Aku memang gemar menyendiri. Aku bisa bebas pergi kemana saja tanpa terbeban oleh kehadiran orang lain. Aku memang kurang dapat menikmati kebersamaan. Tahun-tahun awalku dimulai tahun 1999. Ketika itu kampus UI masih lebat dengan kebun karet, tidak seperti sekarang yang mengalami banyak pembukaan lahan untuk pembangunan taman, gedung, atau lahan parkir.

Aku ingat, suatu ketika aku berada di kebun karet di sebelah FMIPA (tempat itu kemudian diubah menjadi balsem yang lama). Kebun karet itu penuh tegakan pohon karet muda. Untuk berjalan menembusnya saja sulit, apalagi nyamuk-nyamuk berebutan menggigit kulitku. Tapi itulah bagian dari petualangan kecilku. Ada suatu kicauan burung memecah keheningan. Aku merasakan suara itu di dekatku. Aku melihatnya, seekor burung kecil di antara semak-semak. Burung itu berukuran lebih kecil dari kepalanku, dan ia melompat-lompat lincah dari dahan yang satu ke dahan lain. Burung yang ceria, pikirku. Kicauannya yang ’berisik’ mengiringi lompatan lincahnya.

Aku membidiknya dengan binokulerku, mencoba mengimbangi dengan kelincahan sang burung. Akhirnya aku berhasil melihatnya dengan jelas. Punggungnya berwarna coklat, dadanya berwarna cerah. Ekornya yang pendek menegak ke atas. Masih kuingat jelas warna leher bawahnya yang merah pucat. Seketika aku melihat buku Mackinnonku dan menyimpulkan bahwa ia adalah sejenis burung Cinenen (Orthotomus sp.). Tetapi aku tidak yakin jenisnya, antara Cinenen Pisang dan Cinenen Jawa. Warna leher burung di buku Mackinonn tampaknya tidak sesuai warna yang kulihat disitu.

Burung itu tetap menunjukkan kelincahan dan kicauannya. Ia tidak berpindah kemana-mana. Aku bertanya-tanya, apa mungkin disitu ada sarangnya. Dari pengalamanku sebelumnya burung-burung yang kuamati biasanya langsung terbang menghilang dari pandanganku begitu mereka mengetahui keberadaanku. Ketika itu aku berada sangat dekat dari sang Cinenen, sekitar 3 meter. Aku memang perlahan-lahan mendekatinya.

Menikmati kicauan dan kelincahan si Cinenen, aku terlarut dalam kehadirannya. Aku mengamati si burung selama sekitar 10 menit, dan ia tetap disitu. Kecurigaanku terus bertambah. Jika memang disitu ada sarang, wajar saja jika sang burung tidak mau meninggalkannya. Biasanya dalam sarang terdapat anakan burung dan tentu saja induk burung harus menjaganya. Pemikiran ini bertambah kuat karena memang jika diperhatikan sang burung mirip seorang ibu yang panik – berisik, gelisah, dan tidak bisa diam.

Aku memutuskan untuk terus mengamatinya. Akan tetapi, tiba-tiba tempat itu berubah sunyi. Sang Cinenen telah pergi. Ini kesempatanku untuk membuktikan dugaanku mengenai sarang itu. Aku mendekati tempat Cinenen itu tadi ada. Kemudian aku sampai di tempat itu. Tiba-tiba terdengar suara lain. Ini suara cicitan, seperti cicitan anak ayam. Dimana? Pikirku. Suara semakin kuat. Suara itu berasal dari bawah. Dimana.. Tiba-tiba, aku menemukannya..

Seonggok sarang di antara serasah di tanah. Sarang itu terbuat dari seperti serat-serat yang dianyam membentuk kantung kecil. Dan ditengah-tengah kantung itu terdapat seekor anak burung. Ia tertelungkup tidak berdaya, warnanya gelap dan bulunya belum tumbuh sempurna. Aku berpikir, apakah sarang ini jatuh atau memang ia dibuat ditanah? Jika ia memang jatuh, apakah ia bisa bertahan hidup nantinya? Jika memang ia tidak dapat bertahan hidup di tanah, apakah aku harus membawanya dan memeliharanya?

Aku memutuskan untuk meninggalkannya. Aku tidak tahu apakah nantinya sang anak burung akan bertahan hidup atau tidak, tetapi aku berpikir bahwa sebaiknya aku membiarkan proses alam berjalan tanpa gangguanku. Lagipula, jika aku memutuskan merawatnya, aku tidak yakin dapat merawatnya hingga menjadi seekor burung yang sehat dan normal.

Pengalaman itu membawa kesan yang membekas selama hidupku. Peristiwa itu adalah kali pertama aku benar-benar merasa berhadapan, menyentuh langsung, bahkan diajak untuk ikut mengalami proses kehidupan alami. Karena itulah aku mengejar kehidupan seorang biologiwan, yaitu seorang yang menyelami proses kehidupan alami dan membagikannya kepada umat manusia. Demikian aku meninggalkan kebun karet di samping kampusku, menuju daerah-daerah penjelajahan lain, menyambut petualangan yang telah menantiku.


Jakarta, 9 Agustus 2007