Semut Writes

Saya mau belajar menulis. Cita-cita saya adalah mengubah dunia menjadi lebih baik melalui tulisan. Blog ini adalah tempat latihan saya. Bahasa Indonesia dan Inggris akan dipakai disini.

I'm learning to write. I do want to be a good writer and through writing I hope to change people for the better. This blog is my writing training ground. I will use both Indonesian and English languages here.

Kamis, 09 Agustus 2007

Keluarga Cinenen di Hutan UI

Latihan Menulis 1:


Keluarga Cinenen di Hutan UI

Aku ingat, saat kuliah sedang libur panjang di tahun-tahun awal kuliahku, aku sering menghabiskan waktu menjelajah hutan UI untuk mengamati burung. Pengamatan burung adalah kegemaran baruku saat itu, mungkin dipengaruhi kegiatan-kegiatan yang aku ikuti sebagai mahasiswa biologi.

Aku menjelajah hutan UI sendiri. Aku memang gemar menyendiri. Aku bisa bebas pergi kemana saja tanpa terbeban oleh kehadiran orang lain. Aku memang kurang dapat menikmati kebersamaan. Tahun-tahun awalku dimulai tahun 1999. Ketika itu kampus UI masih lebat dengan kebun karet, tidak seperti sekarang yang mengalami banyak pembukaan lahan untuk pembangunan taman, gedung, atau lahan parkir.

Aku ingat, suatu ketika aku berada di kebun karet di sebelah FMIPA (tempat itu kemudian diubah menjadi balsem yang lama). Kebun karet itu penuh tegakan pohon karet muda. Untuk berjalan menembusnya saja sulit, apalagi nyamuk-nyamuk berebutan menggigit kulitku. Tapi itulah bagian dari petualangan kecilku. Ada suatu kicauan burung memecah keheningan. Aku merasakan suara itu di dekatku. Aku melihatnya, seekor burung kecil di antara semak-semak. Burung itu berukuran lebih kecil dari kepalanku, dan ia melompat-lompat lincah dari dahan yang satu ke dahan lain. Burung yang ceria, pikirku. Kicauannya yang ’berisik’ mengiringi lompatan lincahnya.

Aku membidiknya dengan binokulerku, mencoba mengimbangi dengan kelincahan sang burung. Akhirnya aku berhasil melihatnya dengan jelas. Punggungnya berwarna coklat, dadanya berwarna cerah. Ekornya yang pendek menegak ke atas. Masih kuingat jelas warna leher bawahnya yang merah pucat. Seketika aku melihat buku Mackinnonku dan menyimpulkan bahwa ia adalah sejenis burung Cinenen (Orthotomus sp.). Tetapi aku tidak yakin jenisnya, antara Cinenen Pisang dan Cinenen Jawa. Warna leher burung di buku Mackinonn tampaknya tidak sesuai warna yang kulihat disitu.

Burung itu tetap menunjukkan kelincahan dan kicauannya. Ia tidak berpindah kemana-mana. Aku bertanya-tanya, apa mungkin disitu ada sarangnya. Dari pengalamanku sebelumnya burung-burung yang kuamati biasanya langsung terbang menghilang dari pandanganku begitu mereka mengetahui keberadaanku. Ketika itu aku berada sangat dekat dari sang Cinenen, sekitar 3 meter. Aku memang perlahan-lahan mendekatinya.

Menikmati kicauan dan kelincahan si Cinenen, aku terlarut dalam kehadirannya. Aku mengamati si burung selama sekitar 10 menit, dan ia tetap disitu. Kecurigaanku terus bertambah. Jika memang disitu ada sarang, wajar saja jika sang burung tidak mau meninggalkannya. Biasanya dalam sarang terdapat anakan burung dan tentu saja induk burung harus menjaganya. Pemikiran ini bertambah kuat karena memang jika diperhatikan sang burung mirip seorang ibu yang panik – berisik, gelisah, dan tidak bisa diam.

Aku memutuskan untuk terus mengamatinya. Akan tetapi, tiba-tiba tempat itu berubah sunyi. Sang Cinenen telah pergi. Ini kesempatanku untuk membuktikan dugaanku mengenai sarang itu. Aku mendekati tempat Cinenen itu tadi ada. Kemudian aku sampai di tempat itu. Tiba-tiba terdengar suara lain. Ini suara cicitan, seperti cicitan anak ayam. Dimana? Pikirku. Suara semakin kuat. Suara itu berasal dari bawah. Dimana.. Tiba-tiba, aku menemukannya..

Seonggok sarang di antara serasah di tanah. Sarang itu terbuat dari seperti serat-serat yang dianyam membentuk kantung kecil. Dan ditengah-tengah kantung itu terdapat seekor anak burung. Ia tertelungkup tidak berdaya, warnanya gelap dan bulunya belum tumbuh sempurna. Aku berpikir, apakah sarang ini jatuh atau memang ia dibuat ditanah? Jika ia memang jatuh, apakah ia bisa bertahan hidup nantinya? Jika memang ia tidak dapat bertahan hidup di tanah, apakah aku harus membawanya dan memeliharanya?

Aku memutuskan untuk meninggalkannya. Aku tidak tahu apakah nantinya sang anak burung akan bertahan hidup atau tidak, tetapi aku berpikir bahwa sebaiknya aku membiarkan proses alam berjalan tanpa gangguanku. Lagipula, jika aku memutuskan merawatnya, aku tidak yakin dapat merawatnya hingga menjadi seekor burung yang sehat dan normal.

Pengalaman itu membawa kesan yang membekas selama hidupku. Peristiwa itu adalah kali pertama aku benar-benar merasa berhadapan, menyentuh langsung, bahkan diajak untuk ikut mengalami proses kehidupan alami. Karena itulah aku mengejar kehidupan seorang biologiwan, yaitu seorang yang menyelami proses kehidupan alami dan membagikannya kepada umat manusia. Demikian aku meninggalkan kebun karet di samping kampusku, menuju daerah-daerah penjelajahan lain, menyambut petualangan yang telah menantiku.


Jakarta, 9 Agustus 2007